PENDIDIKAN INKLUSI
BAGI ANAK PENDERITA TUNA LARAS
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
sistem pendidikan nasional diadakan pengaturan pendidikan khusus yang
diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau
mental. Peserta didik yang menyandang kelainan demikian juga memperoleh
pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945
yang dalam hal ini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap
warga negara berhak mendapatkan pengajaran” yang ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”
Hak masing-masing warga negara untuk memperoleh pendidikan dapat diartikan
sebagai hak untuk memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang
sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan
tamatan pendidikan dasar. Tentu saja kelainan yang disandang oleh peserta didik
yang bersangkutan menuntut penyelenggaraan pendidikan sekolah yang lain dari
pada penyelenggaraan pendidikan sekolah biasa. Oleh sebab itu, jenis pendidikan
yang diadakan bagi peserta didik yang berkelianan disebut Pendidikan Luar
Biasa.
Lembaga
Pendidikan Luar Biasa yang ada sekarang ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB),
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. Ada beberapa jenis
Sekolah Luar Biasa (SLB) yaitu Sekolah Luar Biasa bagian Tunanetra (SLB bagian
A), Sekolah Luar Biasa bagian Tunarungu (SLB bagian B), Sekolah Luar Biasa
bagian Tunagrahita (SLB bagian C), Sekolah Luar Biasa bagian Tunadaksa (SLB
bagian D), Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras (SLB bagian E), dan Sekolah Luar
Biasa bagian Tunaganda (SLB bagian G).
Agar para
pembina, pelaksanana di lapangan dan organisasi sosial kemasyarakatan memiliki
bekal dan persepsi yang sama tentang lembaga Pendidikan Luar Biasa, khususnya
untuk Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras (SLB bagian E), maka perlu disusun
informasi tentang Pelayanan Pendidikan bagi Anak Tunalaras.
Yang
menjadi sasaran pokok dalam pengembangan adalah usaha pemerataan dan perluasan
kesempatan belajar dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar.
Biasanya anak tunalaras itu segera saja dikeluarkan dari sekolah karena
dianggap membahayakan. Dengan usaha pengembangan sekolah bagi anak tunalaras
ini berarti kita memberi wadah seluas-luasnya atau tempat mereka memperoleh
berbaikan kepribadiannya.
Dengan
adanya sekolah bagi anak tunalaras berarti membantu para orangtua anak yang
sudah kewalahan mendidik puteranya, membantu para guru yang selalu diganggu
apabila sedang mengajar dan mengamankan kawan-kawannya terhadap gangguan anak
nakal.
Pengembangan
pendidikan bagi anak tunalaras sebaiknya paralel atau dikaitkan dengan
mengintensifkan usaha Bimbingan Penyuluhan di sekolah reguler. Sehingga apabila
anak itu tidak mengalami perbaikan dari usaha bimbingan dan penyuluhan dari
kelas khusus maka mereka dikirim ke Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras. Cara
mendasar pendidikan jasmani adaptif adalah sama dengan pendidikan jasmani
biasa. Pendidikan jasmani merupakan salah satu aspek dari seluruh proses
pendidikan secara keseluruhan.
Pendidikan
jasmani adaptif merupakan suatu sistem penyampaian layanan yang bersifat
menyeluruh (comprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan dan
memecahkan masalah dalam ranah psikomotor. Hampir semua jenis ketunaan ABK
memiliki problim dalam ranah psikomotor. Masalah psikomotor sebagai akibat dari
keterbatasan kemampuan sensomotorik, keterbatasan dalam kemampuan belajar.
Sebagian ABK bermasalah dalam interaksi sosial dan tingkah laku. Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa peranan pendidikan jasmani bagi anak
berkebutuhan khusus (ABK) sangat besar dan akan mampu mengembangkan dan
mengkoreksi kelainan dan keterbatasan tersebut, dalam hal ini adalah bagi
mereka para penyandang tunalaras.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tunalaras
Bukan
masalah yang sederhana untuk menentukan batasan mengenai anak yang mengalami
gangguan tingkah laku atau lebih dikenal dengan istilah tunalaras. Hingga kini
belum ada suatu defenisi yang dapat diterima secara umum serta memuaskan semua
pihak. Kenyataan batasan atau definisi yang telah dikemukakan oleh profesional
dan para ahli yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda sesuai dengan
sudut pandang disiplin ilmu masing-masing untuk keperluan profesionalnya. Namun
demikian, hampir semua batasan yang dikemukakan oleh para ahli menganggap bahwa
tunalaras menampakkan suatu perilaku penentangan yang terus-menerus kepada
masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta kegagalan dalam belajar di sekolah
(Somantri, 2006).
Anak tunalaras
sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak tunalaras
menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat yang
berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain (Somantri, 2006).
Definisi anak tunalaras atau emotionally handicapped atau behavioral
disorder lebih terarah berdasarkan definisi dari Eli M Bower (1981) yang
menyatakan bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila
menujukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini: tidak mampu
belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensori atau kesehatan;
tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru;
bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka
selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah
simptom fisik seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang
atau permasalahan di sekolah (Delphie, 2006). Dari banyak pendapat menurut para
ahli, maka dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras adalah anak yang mengalami
hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan
dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan
mengganggu situasi belajarnya. Situasi belajar yang mereka hadapi secara
monoton akan mengubah perilaku bermasalahnya menjadi semakin berat (Somantri,
2006).
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras yang dimaksud disini
adalah anak yang mengalami hambatan atau kesulitan untuk menyesuaikan diri
terhadap lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari norma-norma yang
berlaku dan dalam kehidupan sehari-hari sering disebut anak nakal sehingga
dapat meresahkan atau mengganggu
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
B.
Teknik Mengenal Anak Tunalaras
1. Melakukan psikotest
Test untuk mengetahui kematangan sosial dan ganguan emosi.
2. Melakukan sosimetri
Test yang di gunakan untuk mengetahui suka tdknya seseorang.
3. Konsultasi ke Biro Konsultasi psikolog
Dengan konsulsasi seseorang yg mengalami ganguan emosi sosial atau
tidak bisa diketahui.
4. Konsultasi ke Psikiari Anak
Dengan berkonsultasi dengan psikiaterdiharapkan dapat menetapkan
seorang mengalami kelainan atau tidak sehingga dapat diberikan program
rehabilitasi dan terapi bagi mereka yg mengalami ganguan perilaku.
5. Membandingkan dengan tingkah laku anak umunya.
C.
Faktor
Penyebab Tunalaras
Anak
Tunalaras disebabkan oleh aneka faktor antara lain:
1.
Kondisi keluarga yg tidak harmonis
(broken home).
2.
Kurangnya kasih sayang orang tua karena
kehadirannya tidak diharapkan.
3.
Kemapuan sosial dan ekonomi rendah.
4.
Adanya konflik budaya yaitu adanya
perbedaan pandangan hidup antara keadaan sekolah dan kebiasaan keluarga.
5.
Berkercerdasan rendah atau kurang dapat
mengikuti tuntutan sekolah.
6.
Adanya pengaruh negatif dari geng-geng
atau kelompok.
7.
Adanya ganguan atau kerusakan pada otak
(brain damage).
8.
Memiliki ganguan kejiwaan bawaan.
D.
Klasifikasi
Tunalaras
Secara
garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami
kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak yang
mengalami gangguan emosi. Sehubungan dengan itu, William M.C (1975)
mengemukakan kedua klasifikasi tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Anak
yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial:
a.
The
Semi-socialize child
Anak yang termasuk dalam kelompok
ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu.
Misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan
yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan
dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan
ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
b.
Children
arrested at a primitive level of socialization
Anak pada kelompok ini dalam
perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka
adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan kearah sikap sosial yang benar
dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya.
Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua yang
mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan
nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada
perlakuan yang ramah.
c.
Children
with minimum socialization capacity
Anak kelompok ini tidak mempunyai
kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh
pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang
sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
2.
Anak
yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:
a.
Neurotic
behavior
Anak pada kelompok ini masih bisa
bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai masalah pribadi yang
tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah dihinggapi perasaan sakit
hati, perasaan cemas, marah, agresif dan perasaan bersalah. Disamping juga
kadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak
seperti ini biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik
ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya,
terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan
pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
b.
Children
with psychotic processes
Anak pada kelompok ini mengalami
gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus.
Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki
kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini
disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan,
misalnya minuman keras dan obat-obatan.
Ada
beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan berat-ringannya
kenakalan anak tersebut. Kriteria ini dapat menjadi pedoman pelaksanaan
penetapan berat-ringan kenakalan untuk dipisah dalam pendidikannya, kriteria
itu adalah:
a.
Besar
kecilnya gangguan emosi, artinya semikin tinggi memiliki perasaan negative
terhadap orang lain. Makin dalam rasa negative semakin berat tingkat kenakalan
anak tersebut.
b.
Frekuensi
tindakan, artinya frekwensi tindakan semakin sering dan tidak menunjukkan
penyesalan terhadap perbuatan yang kurang baik semakin berat kenakalannya.
c.
Berat
ringannya pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sanksi
hukum.
d.
Tempat/situasi
kenalakan yang dilakukan artinya Anak berani berbuat kenakalan di masyarakat
sudah menunjukkan berat, dibandingkan dengan apabila di rumah.
e.
Mudah
sukarnya dipengaruhi untk bertingkah laku baik. Para pendidikan atau orang tua
dapat mengetahui sejauh mana dengan segala cara memperbaiki anak. Anak “bandel”
dan “keras kepala” sukar mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.
f.
Tunggal
atau ganda ketunaan yang dialami. Apabila seorang anak tunalaras juga mempunyai
ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam pembinaannya.
Perilaku-perilaku anak tunalaras juga dapat ditandai
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Adanya ganguan emosi dan gangguan sosial,
yang ditandai dengan:
a.
Tidak mau bergaul dan menyendiri
b.
Melarikan diri dan bertanggung jawab
c.
Berdusta, menipu, mencuru menyakitan
orang lain atau sebaliknya, ingin di puji, tak pernah menyulitkan orang lain, penakut dan
kurang pencaya diri.
d.
Tidak mempunyai insiatif dan tertanggung
jawab, kurangnya keberanian dan sangat tergantung pada orang lain.
e.
Agresif terhadap diri sendiri, curiga, acuh
tak acuh, banyak mengkhayal.
f.
Memperlihatkan
perbuatan gugup, misalnya: mengigit kuku, komat-kamit, dan sebagainya.
2.
Rasa rendah diri yang berlebihan, yang
ditandai dengan:
a.
Terlalu mempersoalkan diri sendiri, sering
minta maaf, takut tampil di muka umum, dan takut bicara.
b.
Mengeluh dengan nada nasib malang dan
segan melakukan hal-hal baru atau yang dapat mengungkap kekurangan.
c.
Selalu ingin sempuna, tidak puas dengan
apa yang diperbuat.
d.
Bersikap introvent (lebih banyak
mengarahkan perhatian pada diri sendiri atau bersikap sangat tertutup).
3.
Merendahkan harga diri, yang ditandai dengan:
a.
Bernada murung, cepat merasa
tersinggung, merasa tidak enak badan, sakit buatan.
b.
Berpura-pura lebih dari orang lain,
misalnya: menonjolkan diri, bicara lantang, dan merendahkan orang lain.
c.
Melakukan perbuatan jahat.
Di dalam
pelaksanaan penyelenggaraannya kita mengenal macam-macam bentuk penyelenggaraan
pendidikan anak tunalaras/sosial sebagai berikut:
a.
Penyelenggaraan
bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler.
Jika diantara murid di sekolah
tersebut ada anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan segera para
pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di
kelas, hanya mereka mendapat perhatian dan layanan khusus.
b.
Kelas
khusus
Apabila anak tunalaras perlu belajar
terpisah dari teman pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan baik
emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan
sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah dan masih
merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu dipegang oleh
seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan
atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
c.
Sekolah
Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama.
Bagi Anak Tunalaras yang perlu
dipisah belajarnya dengan kata kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat
atau merugikan kawan sebayanya.
d.
Sekolah
dengan asrama.
Bagi mereka yang kenakalannya berat,
sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka
dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat
terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tujuan
diselenggarakannya layanan pendidikan bagi anak tunalaras adalah untuk membantu
anak didik penyandang perilaku sosial dan emosi, agar mampu mengembangkan
sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat
dalam menggalakkan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan
alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau
mengikuti pendidikan selanjutnya.
Pendidikan jasmani
adaptif merupakan suatu sistem penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh
(comprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan dan memecahkan masalah
dalam ranah psikomotor. Hampir semua jenis ketunaan ABK memiliki problim dalam
ranah psikomotor.
Dengan demikian
dapat dipastikan bahwa peranan pendidikan jasmani bagi anak berkebutuhan khusus
(ABK) sangat besar dan akan mampu mengembangkan dan mengkoreksi kelainan dan
keterbatasan tersebut, dalam hal ini adalah bagi mereka para penyandang tunalaras.
Anak tunalaras
sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak tunalaras
menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat yang
berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain. Sehingga
dibutuhkan pembelajaran pendidikan jasmani khusus yang harus diterapkan pada
mereka para tunalaras.
B. Saran
Anak tunalaras
bukan momok yang harus dikucilkan dalam masyarakat bahkan mereka harus
mendapatkan perhatian yang lebih terkhusus untuk mendapatkan pendidikan yang
layak seperti halnya anak yang normal lainnya. Sehingga diperlukan lembaga
khusus yang menangani anak tunalaras. Peserta didik yang menyandang kelainan
demikian juga memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan singkat dan jelas
bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” yang
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus”.
DAFTAR
PUSTAKA
Arma Abdoellah, Prof.,M.sc., (1996): Pendidikan
Jasmani Adaptif, Ditjen Dikti, Depdikbud, Jakarta
Bucher, C.A., (1985): Foundations of physical
Education and Sport, St.LOUIS: The CV. Mosby Company.
0 comments:
Post a Comment